Sabtu, 29 Oktober 2011

Kisah Paling Sedih

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir
    sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah
    benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan
    orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

    Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.
    Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas
    istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan
    lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak
    punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
    sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah
    sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

    Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan
    segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa.
    Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri.
    Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
    seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan
    hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan
    menuruti semua keinginanku.

    Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani
    melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan
    suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat
    tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di
    atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia
    memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
    Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga
    marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku
    marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang
    bersenang-senang dengan teman-temanku.

    Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja,
    tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun
    ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya
    begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia
    tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah
    lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

    Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah
    ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami
    kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi
    agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua
    keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua
    anak kami.

    Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang
    ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.
    Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa,
    dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
    sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan
    ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
    mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun
    sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara
    ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga
    membenci kedua orangtuaku.

    Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
    anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak
    menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
    pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
    kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan
    berat untuk pergi.

    Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan
    waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa
    jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus
    orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk
    saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar
    tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa
    dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian
    terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha
    mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan
    aku menelepon suamiku dan bertanya.

    “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya
    uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali
    ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
    Katanya menjelaskan dengan lembut.

    Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa
    menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali
    berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah
    membentak. “Apalagi??”

    “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya
    padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir
    aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa
    menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara
    dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan
    tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
    membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau
    aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut
    mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

    Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku
    segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar
    sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban
    meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua
    kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak
    enak dan marah.

    Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara
    bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon
    suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu
    memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari
    bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu
    ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami
    kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
    Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika
    telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam
    erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku
    dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih
    kertas.

    Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana
    juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang
    hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat
    darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah
    yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu
    beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang
    dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
    pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang
    menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah
    sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama
    sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk
    menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku
    dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku
    menangis.

    Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku
    termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku
    benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati
    wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi
    sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun
    kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
    kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu
    selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan
    pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak
    menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua
    bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir
    begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras
    membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur
    prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku
    berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
    kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

    Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku
    hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa
    yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
    kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak
    pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang
    menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa
    yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu
    apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
    bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku
    sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
    instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya
    memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia
    sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku
    hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena
    dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
    permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau
    jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

    Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
    melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku
    tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku
    terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku
    membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku
    begitu terluka kehilangan dirinya.

    Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan
    seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di
    dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya,
    aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
    mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku
    membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa
    membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa
    dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam
    kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya
    setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman
    kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku
    menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun
    dengan sosoknya di sebelahku.

    Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi
    sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya
    kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur
    kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
    hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan
    meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
    memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas
    jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
    membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang
    tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote
    televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah
    kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan
    kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru
    menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

    Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan
    normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya
    masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah
    karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena
    tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
    mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku
    sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena
    menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena
    telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
    Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta
    Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari
    keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini
    kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka
    setelah kepergian suamiku.

    Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk
    bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus
    kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres
    dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar
    pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan
    hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai
    untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah
    bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir
    beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
    menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama
    ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan
    rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi
    kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal
    itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan
    bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya
    takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana?
    Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu
    diatur oleh dia.

    Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang
    bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu
    notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
    mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai
    ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata
    apapun adalah isi suratnya untukku.

    /Istriku Liliana tersayang,/

    /Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf
    karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri.
    Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi.
    Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan
    anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu./

    /Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi
    aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini
    aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
    nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang
    bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk
    membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk
    mereka, ya sayang. /

    /Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk
    membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi
    kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau
    lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan
    memberimu jodoh yang lebih baik dariku./

    /Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa
    mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan,
    ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang
    bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
    disana melihatnya. Oke, Buddy!/

    Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata
    yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

    Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa
    asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.
    Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut
    dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh
    orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu
    mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal
    menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

    Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
    hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam
    hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
    orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku
    selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam
    kesedihanku saat suamiku pergi.

    Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
    putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami
    bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri,
    soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

    Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu,
    cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan
    mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan
    hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa
    sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

    Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang
    membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

    Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah
    mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia
    pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian
    berdua.”

    Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
    suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
    menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku
    bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari
    cintanya yang begitu tulus.

http://www.weberita.com/kisah-paling-sedih.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar