Sabtu, 29 Oktober 2011

Kisah Paling Sedih

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir
    sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah
    benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan
    orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

    Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.
    Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas
    istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan
    lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak
    punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
    sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah
    sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

    Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan
    segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa.
    Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri.
    Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
    seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan
    hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan
    menuruti semua keinginanku.

    Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani
    melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan
    suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat
    tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di
    atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia
    memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
    Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga
    marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku
    marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang
    bersenang-senang dengan teman-temanku.

    Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja,
    tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun
    ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya
    begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia
    tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah
    lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

    Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah
    ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami
    kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi
    agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua
    keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua
    anak kami.

    Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang
    ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.
    Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa,
    dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
    sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan
    ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
    mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun
    sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara
    ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga
    membenci kedua orangtuaku.

    Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
    anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak
    menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
    pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
    kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan
    berat untuk pergi.

    Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan
    waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa
    jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus
    orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk
    saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar
    tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa
    dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian
    terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha
    mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan
    aku menelepon suamiku dan bertanya.

    “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya
    uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali
    ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
    Katanya menjelaskan dengan lembut.

    Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa
    menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali
    berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah
    membentak. “Apalagi??”

    “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya
    padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir
    aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa
    menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara
    dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan
    tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
    membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau
    aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut
    mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

    Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku
    segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar
    sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban
    meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua
    kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak
    enak dan marah.

    Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara
    bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon
    suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu
    memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari
    bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu
    ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami
    kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
    Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika
    telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam
    erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku
    dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih
    kertas.

    Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana
    juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang
    hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat
    darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah
    yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu
    beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang
    dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
    pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang
    menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah
    sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama
    sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk
    menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku
    dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku
    menangis.

    Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku
    termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku
    benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati
    wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi
    sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun
    kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
    kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu
    selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan
    pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak
    menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua
    bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir
    begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras
    membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur
    prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku
    berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
    kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

    Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku
    hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa
    yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
    kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak
    pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang
    menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa
    yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu
    apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
    bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku
    sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
    instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya
    memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia
    sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku
    hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena
    dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
    permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau
    jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

    Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
    melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku
    tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku
    terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku
    membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku
    begitu terluka kehilangan dirinya.

    Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan
    seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di
    dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya,
    aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
    mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku
    membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa
    membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa
    dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam
    kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya
    setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman
    kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku
    menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun
    dengan sosoknya di sebelahku.

    Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi
    sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya
    kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur
    kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
    hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan
    meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
    memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas
    jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
    membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang
    tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote
    televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah
    kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan
    kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru
    menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

    Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan
    normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya
    masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah
    karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena
    tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
    mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku
    sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena
    menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena
    telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
    Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta
    Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari
    keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini
    kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka
    setelah kepergian suamiku.

    Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk
    bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus
    kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres
    dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar
    pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan
    hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai
    untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah
    bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir
    beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak
    menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama
    ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan
    rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi
    kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal
    itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan
    bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya
    takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana?
    Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu
    diatur oleh dia.

    Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang
    bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu
    notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
    mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai
    ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata
    apapun adalah isi suratnya untukku.

    /Istriku Liliana tersayang,/

    /Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf
    karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri.
    Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi.
    Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan
    anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu./

    /Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi
    aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini
    aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
    nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang
    bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk
    membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk
    mereka, ya sayang. /

    /Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk
    membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi
    kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau
    lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan
    memberimu jodoh yang lebih baik dariku./

    /Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa
    mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan,
    ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang
    bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
    disana melihatnya. Oke, Buddy!/

    Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata
    yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

    Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa
    asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.
    Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut
    dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh
    orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu
    mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal
    menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

    Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
    hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam
    hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
    orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku
    selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam
    kesedihanku saat suamiku pergi.

    Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
    putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami
    bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri,
    soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

    Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu,
    cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan
    mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan
    hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa
    sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

    Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang
    membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

    Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah
    mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia
    pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian
    berdua.”

    Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
    suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
    menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku
    bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari
    cintanya yang begitu tulus.

http://www.weberita.com/kisah-paling-sedih.html

[cerpen] Cinta Laki-laki Biasa

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.



Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?



Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.



Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.



Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.



Baru pembukaan satu.

Belum ada perubahan, Bu.

Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.



Masih pembukaan dua, Pak!

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.



Bang?

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.



Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?

Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.



Nania, bangun, Cinta?

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,



Nania, bangun, Cinta?

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.



Baik banget suaminya!

Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!



Nania beruntung!

Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.



Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi

sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..



- Asma Nadia -


Senin, 17 Oktober 2011

IBU adalah segalanya


Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.

Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.

Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.

Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.

Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.

Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.

Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.

Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.

Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.

Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.

"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.

Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"

Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.

Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?

Minggu, 16 Oktober 2011

Maafkan Salahku . . Ibu . . .


Kisah ini merupakan kisah nyata dari seorang suami yang sedang diberi cobaan berat yaitu isterinya sakit dan tak kunjung sembuh.

Dan diceritakan kembali oleh Jamil Azzaini. Semoga bisa menyadarkan diri kita.

Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa apa pun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita. Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula. Kali ini izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman pribadi yang terjadi pada 2003.


Pada September-Oktober 2003 isteri saya terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta . Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi penyakit yang diidapnya. Dia sedang hamil 8 bulan. Panasnya sangat tinggi. Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang ICU. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah layar monitor.

Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya. Dokter berkata:

“Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu”

Saya pun menjawab “Mengapa dokter meminta izin saya? Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta izin saya”

Dokter itu menjawab “Karena obat yang ini mahal Pak Jamil.”

“Memang harganya berapa dok?” Tanya saya.

Dokter itu dengan mantap menjawab “Dua belas juta rupiah sekali suntik.”

“Haahh 12 juta rupiah Dok, lantas sehari berapa kali suntik, dok? ”

Dokter itu menjawab, “Sehari tiga kali suntik pak Jamil.”

Setelah menarik napas panjang saya berkata, “Berarti satu hari tiga puluh enam juta, Dok?”Saat itu butiran air bening mengalir di pipi . Dengan suara bergetar saya berkata, “Dokter tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar penyakit istri saya segera ditemukan .”

“Pak Jamil kami sudah berusaha semampu kami bahkan kami telah meminta bantuan berbagai laboratorium dan penyakit istri Bapak tidak bisa kami deteksi secara tepat, kami harus sangat hati-hati memberi obat karena istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan, baiklah kami akan coba satu kali lagi tapi kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya, pak.” jawab dokter.

Setelah percakapan itu usai, saya pergi menuju mushola kecil dekat ruang ICU. Saya melakukan sembahyang dan saya berdoa, “Ya Allah Ya Tuhanku… aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba-Mu, akupun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti akan Engkau balas dan akupun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah aku lakukan juga akan Engkau balas.

Ya Tuhanku… gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan sakit isteriku yang berkepanjangan, tabunganku telah terkuras, tenaga dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk Ya Tuhanku. Engkau Maha Tahu bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk. Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu. Aku pasrah kepada Mu Ya Tuhanku. Sembuhkanlah istriku. Bagimu amat mudah menyembuhkan istriku, semudah Engkau mengatur milyaran planet di jagat raya ini.”

Ketika saya sedang berdoa itu tiba-tiba terbersit dalam ingatan akan kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, saya hidup dalam keluarga yang miskin papa. Sudah tiga bulan saya belum membayar biaya sekolah yang hanya Rp. 25 per bulan. Akhirnya saya memberanikan diri mencuri uang ibu saya yang hanya Rp. 125. Saya ambil uang itu, Rp 75 saya gunakan untuk mebayar SPP, sisanya saya gunakan untuk jajan.

Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis sambil terbata berkata, “Pokoknya yang ngambil uangku kualat… yang ngambil uangku kualat… ” Uang itu sebenarnya akan digunakan membayar hutang oleh ibuku. Melihat hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.

Usai berdoa saya merenung , “Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya akan memperoleh keburukan. Dan keburukan yang saya terima adalah penyakit isteri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan mengambil uang yang ia miliki itu.”

Setelah menarik nafas panjang saya tekan nomor telepon rumah dimana ibu saya ada di rumah menemani tiga buah hati saya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah, maka saya bertanya kepada ibu saya “Bu, apakah ibu ingat ketika ibu kehilangan uang sebayak seratus dua puluh lima rupiah beberapa puluh tahun yang lalu?”

“Sampai kapanpun ibu ingat Mil. Kualat yang ngambil duit itu Mil, duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok ya tega-teganya ada yang ngambil,” jawab ibu saya dari balik telepon. Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan, butiran air mata mengalir di pipi.

Sambil terbata saya berkata, “Ibu, maafkan saya… yang ngambil uang itu saya, bu… saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf… saat nanti ketemu saya akan sungkem sama ibu, saya jahat telah tega sama ibu.”

Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon saya dengar ibu saya berkata: “Ya Tuhan, pernyataanku aku cabut, yang ngambil uangku tidak kualat, aku maafkan dia . Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Jamil kamu nggak usah pikirin dan doakan saja isterimu agar cepat sembuh.”

Setelah memastikan bahwa ibu saya telah memaafkan saya, maka saya akhiri percakapan dengan memohon doa darinya.

Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter, setibanya di ruangan sambil mengulurkan tangan kepada saya sang dokter berkata “Selamat pak, penyakit isteri bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas. Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun, setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.” Bulu kuduk saya merinding mendengarnya , sambil menjabat erat tangan sang dokter saya berkata.

“Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter. ”

Saya meninggalkan ruangan dokter itu…. dengan berbisik pada diri sendiri “Ibu, I miss you so much. ”


Dikutip dari Jamil Azzaini, Senior Trainer dan penulis buku Kubik Leadership: Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.

Kenalan dgn Malaikat2 ALLAH

Malaikat (Bahasa Arab: ملاءكة; transliterasi: Malaikah) adalah makhluk yang memiliki kekuatan-kekuatan yang patuh pada ketentuan dan perintah Allah.

Menurut bahasa, kata “Malaikat” merupakan kata jamak yang berasal dari Arab malak (ملك) yang berarti kekuatan, yang berasal dari kata mashdar “al-alukah” yang berarti risalah atau misi, kemudian sang pembawa misi biasanya disebut dengan Ar-Rasul.

Malaikat diciptakan oleh Allah terbuat dari cahaya (nur), berdasarkan salah satu hadist Muhammad, “Malaikat telah diciptakan dari cahaya.”[1]

Iman kepada malaikat adalah bagian dari Rukun Iman. Iman kepada malaikat maksudnya adalah meyakini adanya malaikat, walaupun kita tidak dapat melihat mereka, dan bahwa mereka adalah salah satu makhluk ciptaan Allah. Allah menciptakan mereka dari cahaya. Mereka menyembah Allah dan selalu taat kepada-Nya, mereka tidak pernah berdosa. Tak seorang pun mengetahui jumlah pasti malaikat, hanya Allah saja yang mengetahui jumlahnya.

Walaupun manusia tidak dapat melihat malaikat tetapi jika Allah berkehendak maka malaikat dapat dilihat oleh manusia, yang biasanya terjadi pada para Nabi dan Rasul. Malaikat selalu menampakan diri dalam wujud laki-laki kepada para nabi dan rasul. Seperti terjadi kepada Nabi Ibrahim.

Nama dan tugas para Malaikat

Di antara para malaikat yang wajib setiap orang Islam ketahui sebagai salah satu Rukun Iman, berdasarkan Al Qur'an dan hadits. Nama (panggilan) berserta tugas-tugas mereka adalah sebagai berikut:

♥♥ ~* Jibril - Pemimpin para malaikat, bertugas menyampaikan wahyu dan mengajarkannya kepada para nabi dan rasul.
♥♥ ~* Mikail - Membagi rezeki kepada seluruh makhluk.
♥♥ ~* Israfil - Meniup sangkakala (terompet) pada hari kiamat.
♥♥ ~* Munkar dan Nakir - Memeriksa amal manusia di alam barzakh.
♥♥ ~* Raqib dan 'Atid - Mencatat amal manusia di dunia.[rujukan?]
♥♥ ~* Izrail - Mencabut nyawa seluruh makhluk.
♥♥ ~* Ridwan - Menjaga pintu syurga.
♥♥ ~* Malik - Pemimpin Malaikat Zabaniah dan penjaga neraka.
♥♥ ~* Zabaniah - 19 malaikat penyiksa dalam neraka yang bengis dan kasar.[2]

♥♥ ~* Hamalat al 'Arsy - Empat malaikat pembawa 'Arsy Allah, pada hari kiamat jumlahnya akan ditambah empat menjadi delapan.[3]

♥♥ ~* Harut dan Marut - Dua Malaikat yang turun di negeri Babil.

♥♥ ~* Darda'il - Malaikat yang mencari orang yang berdo'a, bertaubat, minta ampun dan lainnya pada bulan Ramadhan.[4]

♥♥ ~* Hafazhah (Para Penjaga):[5][6]
♥♥ ~* Kiraman Katibin - Para malaikat pencatat yang mulia, ditugaskan mencatat amal manusia.[7][8]
♥♥ ~* Mu’aqqibat - Para malaikat yang selalu memelihara/ menjaga manusia dari kematian sampai waktu yang telah ditetapkan yang datang silih berganti.[9][10]

♥♥ ~* Arham - Malaikat yang diperintahkan untuk menetapkan rejeki, keberuntungan, ajal dan lainnya pada 4 bulan kehamilan.

♥♥ ~* Jundallah - Para malaikat perang yang bertugas membantu nabi dalam peperangan.[11][12][13]

♥♥ ~* Ad-Dam'u - Malaikat yang selalu menangis jika melihat kesalahan manusia.
♥♥ ~* An-Nuqmah - Malaikat yang selalu berurusan dengan unsur api dan duduk disinggasana berupa nayala api, ia memiliki wajah kuning tembaga.
♥♥ ~* Ahlul Adli - Malaikat besar yang melebihi besarnya bumi besera isinya dikatakan ia memiliki 70 ribu kepala.
♥♥ ~* Ar-Ra'd - Malaikat pengatur awan dan hujan.[14][15]

♥♥ ~* Malaikat Berbadan Api dan Salju - Malaikat yang setengah badannya berupa api dan salju berukuran besar serta dikelilingi oleh sepasukan malaikat yang tidak pernah berhenti berzikir.[16]

♥♥ ~* Penjaga Matahari - Sembilan Malaikat yang menghujani matahari dengan salju.[17][18]

Malaikat Rahmat - Penyebar keberkahan, rahmat, permohonan ampun dan pembawa roh orang-orang shaleh, ia datang bersama dengan Malaikat Maut dan Malaikat `Adzab.[19]

♥♥ ~* Malaikat `Adzab - Pembawa roh orang-orang kafir, zalim, munafik, ia datang bersama dengan Malaikat Maut dan Malaikat Rahmat.[20]

♥♥ ~* Pembeda Haq dan Bathil - Para malaikat yang ditugaskan untuk membedakan antara yang benar dan salah kepada manusia dan jin.[21]

♥♥ ~* Penentram Hati - Para malaikat yang mendoakan seorang mukmin untuk meneguhkan pendirian sang mukmin tersebut.[22]

♥♥ ~* Penjaga 7 Pintu Langit - 7 malaikat yang menjaga 7 pintu langit. Mereka diciptakan oleh Allah sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.[23]

♥♥ ~* Pemberi Salam Ahli Surga - Para malaikat yang memberikan salam kepada para penghuni surga.[24]

♥♥ ~* Pemohon Ampunan Orang Beriman - Para malaikat yang terdapat disekeliling 'Arsy yang memohonkan ampunan bagi kaum yang beriman.[25]

♥♥ ~* Pemohon Ampunan Manusia di Bumi - Para malaikat yang bertasbih memuji Allah dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi.[26]

Nama Malaikat Maut dikatakan Izrail, tidak ditemukan sumbernya baik dalam Al Quran maupun Hadits. Kemungkinan nama malaikat Izrail didapat dari sumber Israiliyat. Dalam Al Qur'an dia hanya disebut Malak al-Maut atau Malaikat Maut.

Malaikat Jibril, walau namanya hanya disebut dua kali dalam Al Qur'an, ia juga disebut di banyak tempat dalam Al Qur'an dengan sebutan lain seperti Ruh al-Qudus, Ruh al-Amin/ Ar-Ruh Al-Amin dan lainnya.

Dari nama-nama malaikat di atas ada beberapa yang disebut namanya secara spesifik di dalam Al Qur'an, yaitu Jibril (QS 2 Al Baqarah: 97,98 dan QS 66 At Tahrim: 4), Mikail (QS 2 Al Baqarah: 98) dan Malik (QS Al Hujurat) dan lain-lain. Sedangkan Israfil, Munkar dan Nakir disebut dalam Hadits.


Wujud Malaikat

Wujud para malaikat telah dijabarkan di dalam Al Qur'an ada yang memiliki sayap sebanyak 2, 3 dan 4. surah Faathir 35:1 yang berbunyi:
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Faathir 35:1)
Kemudian dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Jibril memiliki 600 sayap, Israfil memiliki 1200 sayap, dimana satu sayapnya menyamai 600 sayap Jibril dan yang terakhir dikatakan bahwa Hamalat al-'Arsy memiliki 2400 sayap dimana satu sayapnya menyamai 1200 sayap Israfil.
Wujud malaikat mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang, karena mata manusia tercipta dari unsur dasar tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk[27] tidak akan mampu melihat wujud dari malaikat yang asalnya terdiri dari cahaya, hanya Nabi Muhammad SAW yang mampu melihat wujud asli malaikat bahkan sampai dua kali. Yaitu wujud asli malikat Jibril .[28]
Mereka tidak bertambah tua ataupun bertambah muda, keadaan mereka sekarang sama persis ketika mereka diciptakan. Dalam ajaran Islam, ibadah manusia dan jin lebih disukai oleh Allah dibandingkan ibadah para malaikat, karena manusia dan jin bisa menentukan pilihannya sendiri berbeda dengan malaikat yang tidak memiliki pilihan lain. Malaikat mengemban tugas-tugas tertentu dalam mengelola alam semesta. Mereka dapat melintasi alam semesta secepat kilat atau bahkan lebih cepat lagi. Mereka tidak berjenis lelaki atau perempuan dan tidak berkeluarga.

[sunting]Sifat Malaikat

Sifat-sifat malaikat yang diyakini oleh umat Islam adalah sebagai berikut:
  1. Selalu bertasbih siang dan malam tidak pernah berhenti.[29]
  2. Suci dari sifat-sifat manusia dan jin, seperti hawa nafsu, lapar, sakit, makan, tidur, bercanda, berdebat, dan lainnya.
  3. Selalu takut dan taat kepada Allah.[30][31]
  4. Tidak pernah maksiat dan selalu mengamalkan apa saja yang diperintahkan-Nya.[32]
  5. Mempunyai sifat malu.[33]
  6. Bisa terganggu dengan bau tidak sedap, anjing dan patung.[34]
  7. Tidak makan dan minum.[35]
  8. Mampu mengubah wujudnya.[36]
  9. Memiliki kekuatan[37][38] dan kecepatan cahaya.[39]
Malaikat tidak pernah lelah dalam melaksanakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka. Sebagai makhluk ghaib, wujud Malaikat tidak dapat dilihat, didengar, diraba, dicium dan dirasakan oleh manusia, dengan kata lain tidak dapat dijangkau olehpanca indera, kecuali jika malaikat menampakkan diri dalam rupa tertentu, seperti rupa manusia. Ada pengecualian terhadap kisah Muhammad yang pernah bertemu dengan Jibril dengan menampakkan wujud aslinya, penampakkan yang ditunjukkan kepada Muhammad ini sebanyak 2 kali, yaitu pada saat menerima wahyu dan Isra dan Mi'raj.
Beberapa nabi dan rasul telah di tampakkan wujud malaikat yang berubah menjadi manusia, seperti dalam kisah IbrahimLuth,MaryamMuhammad dan lainnya.
Berbeda dengan ajaran Kristen dan Yahudi, Islam tidak mengenal istilah "Malaikat Yang Terjatuh" (Fallen Angel). Azazil yang kemudian mendapatkan julukan Iblis, adalah nenek moyang Jin, seperti Adam nenek moyang Manusia. Jin adalah makhluk yang dicipta oleh Allah dari 'api yang tidak berasap', sedang malaikat dicipta dari cahaya.

[sunting]Tempat yang tidak disukai Malaikat

Menurut syariat Islam ada beberapa tempat dimana para malaikat tidak akan mendatangi tempat (rumah) tersebut dan ada pendapat lain yang mengatakan adanya pengecualian terhadap malaikat-malaikat tertentu yang tetap akan mengunjungi tempat-tempat tersebut. Pendapat ini telah disampaikan oleh Ibnu Wadhdhah, Imam Al-Khaththabi, dan yang lainnya. Tempat atau rumah yang tidak dimasuki oleh malaikat itu di antara lain adalah:
  1. Tempat yang di dalamnya terdapat anjing, (kecuali anjing untuk kepentingan penjagaan keamanan, pertanian dan berburu);[40][41]
  2. Tempat yang terdapat patung (gambar);[42]
  3. Tempat yang di dalamnya ada seseorang muslim yang mengancungkan dengan senjata terhadap saudaranya sesama muslim;[43]
  4. Tempat yang memiliki bau tidak sedap atau menyengat.[44]
Kesemuanya itu berdasarkan dalil dari hadits shahih yang dicatatat oleh para Imam, di antaranya adalah Ahmad, Hambali, Bukhari, Tirmidzy, Muslim dan lainnya. Tidak sedikit nash hadits yang menyatakan bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan pahala pemilik anjing akan susut atau berkurang.
Malaikat Jibril pun enggan untuk masuk ke rumah Muhammad sewaktu ia berjanji ingin datang ke rumahnya, dikarenakan ada seekor anak anjing di bawah tempat tidur.[45] Malaikat Rahmat pun tidak akan mendampingi suatu kaum yang terdiri atas orang-orang yang berteman dengan (memelihara) anjing.[46]